Jumat, 01 Juni 2012

PARA PEJUANG ANTIKORUPSI

     Jumlah mereka tak jelas, mungkin ratusan,bisa juga ribuan. Tersebar dari kota besar sampai pelosok desa. Pada awalnya mereka berangkat dengan satu semangat : peduli terhadap ancaman jahat praktek korupsi, yang dari tahun ke tahun seperti tak kunjung surut. Kepedulian itu diwujudkan dengan memebentuk lembaga swadaya masyarakat antikorupsi. Belakangan memang tak sedikit LSM yang ternyata cuma mencari keuntungan sesaat atau paling tidak batu loncatan pendiri atau pengurus nya masuk partai politik. Sebaliknya, tetap ada lembaga swadaya antikorupsi yang konsisten berdiri paling depan membongkar penyelewengan penggunaan uang negara. 
     Sejak Desember,para aktivis itu menjaring 20-an suporter-penyumbang dana-dari mahasiswa,pegawai swasta,sampai pengacara. Donasinya mulai dari Rp75ribu - Rp200ribu per bulan dengan komitmen rata-rata setahun. Program itu digagas ICW sejak januari tahun lalu agar tidak terus bergantung pada donor asing. "Sudah saatnya masyarakat dilibatkan dalam gerakan anti korupsi, bukan hanya menonton,"kata Johanes Danang Widoyoko,koordinator lembaga swadaya masyarakat itu. Selama setengah tahun, ICW menyiapkan model penggalangan. Buat memudahkan suporter, layanan autodebit dipakai. Cukup mengisi administrasi di stan lalu, setelah verifikasi, bank memotong dana di rekening suporter. Suporter wajib menyerahkan fotocopy kartu identitas,juga salinan kartu kredit atau kartu anjungan tunai mandiri (ATM). Untuk donatur Rp1juta lebih, ICW melakukan verifikasi ulang. Calon suporter yang sedang tersandung persoalan hukum langsung dicoret.
     Donasi publik dipakai ICW untuk mendanai gerakan antikorupsi. Bagian tersebar untuk advokasi. Selama ini kegiatan itu didanai saweran anggota atau patungan dengan lembaga lainnya. Sejak awal lembaga donor menolak mendanai advokasi, pekerjaan utama ICW. Selain berdemonstrasi menuntut penutasan kasus korupsi,ICW membuka layanan pengaduan di kantor lembaga ini di kawasan kalibata timur,jakarta selatan.Tak ada gading yag retak. Sejumlah politikus terus menyerang lembaga itu, antara lain dengan menempelkan stempel "agen asing". Kritik dilontarkaan Jaksa Agung Muda Pengawasan Marwan Efendy. Menurut dia, ICW seharusnya menyampaikan pengaduan akurat dan didukung fakta hukum kuat.     
          Sejak Indonesia Coruption Watch berdiri pada Juni 1998, para aktivitasnya akrab dengan berbagai bentuk intimidasi. Ancaman melalui telepon  sudah jamak. Teror bahkan bisa dikirim lewat guna-guna, seperti pernah didalam Adnan Topan. Pada akhir Oktober 2009, selama sebulan Adnan merasakan ngilu dan lemas memeriksanya tak menemukan penyakit apa pun. Ia akhirnya menempuh jalur lain, yakni meminta bantuan “orang pintar”. Adnan diberi tahukan sedang diguna-guna. Katanya kiriman dari Jawa Timur dan Jawa Barat,”tutur Wakil Koordinator ICW ini. Diluar terror, gugatan hukum adaah hal biasa. Emerson Yuntho Dan Illian Deta Arta Sari, misalnya, ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik pada Oktober 2009. Keduanya dilaporkan Kejaksaan Agung karena merilis data tandingan Isinya, membatah klaim jumlah asset Negara yang diselamatkan korps adhyaksa itu. 
          Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) lahir ketika perusahaan - perusahaan kayu di Riau mengadakan ekspansi besar-besaran pada awal 2000-an. Didirikan pada 26 Februari 2002, Jikalahari beranggotakan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang punya perhatian terhadap lingkungan, terutama penyelamatan hutan. Aktivisnya anak-anak muda yang gelisah melihat hutan di Riau di gundulkan. Kala itu lembaga swadaya yang ada hanya bergerak menurut interes masing-masing: advokasi masyarakat, limbah, hutan, sungai, dan seterusnya. Namun anak-anak muda yang sering berdemonstrasi bersama biasa dimotori oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau merasakan pentingnya sebuah front bersama. Gagasan untuk membuat sekretariat bersama muncul pada 2001, yang didorong oleh Critical Ecosystem Partnership Fund.
          Puluhan ulama, 7.000 kitab kuning, dan hari-hari penuh energi. Itulah suasana Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada November 2002. Bolak-balik kitab kuning dibuka, ayat-ayat Al-Quran dirujuk, riwayat para ulama terdahulu dicari relevansinya.“Kami menyusun kitab fikih khusus antikorupsi,” kata Tuan Guru Hasanain Juani,motor para ulama ketika itu. Tak Cuma menerbitkan buku, Somasi juga membuka pos pengaduan korupsi dikantor mereka di Jalan Dukuh Saleh Nomor 20, Mataram. Tiga belas tahun berdiri, pengakuan dating dari berbagai kalangan. Menurut Dwi Sudarsono, Direktur yayasan Masyarakat Nusa Tenggara Barat, berkat laporan somasi, bekas gubernur dan 18 anggota parlemen provinsi masuk bui (baca infografis “jejak Mereka”).
                           Sejumlah kasus korupsi  mereka terlisik. Di antaranya dugaan korupsi dana cadangan umum untuk bencana alam tahun 2004. Lalu kasus korupsi  dana aspirasi yang melibatkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Garut. Ada pula korupsi pemeliharaan jalan periode 2005, rasuah terkait dengan kebijakan pendidikan yang diduga melibatkan pejabat-pejabat di lingkungan Dinas Pendidikan Garut, Meski begitu Edwar menyayangkan pilihan lembaga ini yang dinilainya masih terlalu berfokus pada dugaan penyimpangan di jajaran birokrasi pemerintahan saja. ”Harusnya aparat hukum juga mulai diawasi,” ia menyarankan orang-orang dari jajaran birokrasi yang pernah lekat diawasi ternyata ada juga yang member respons positif.
                     Gerakan yang digalang T.Muhammad Zulfikar akhirnya sampai juga di meja hijau. Pertengahan Desember lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara Banda Aceh menggelar siding peradana kasus  Rawa TRipa. Tergabung dalam Tim koalisi penyelamatan Rawa Tripa, Walhi Aceh menggugat Irwandi karena telah mengizinkan PT Kalista Alam membuka lahan perkebunan kelapa sawit d.area hutan gambut Rawa Tripa. Kawasan seluas 1.065 hektare itu terletak di Desa Pulo Kruet, Nagan Raya. Bukan Cuma soal Rawa Tripa, Walhi Aceh berteriak lantang. Dalam kasus megaproyek Ladia Galaska singkatan dari Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malak-organiasasi ini mencium bau amis korupsi berceceran di mana-mana.

Tanggapan Menurut Saya
               Pada intinya Pemberantasan korupsi ini tidak cukup hanya dilakukan melalui lembaga peradilan, Sehingga pemberantasan korupsi bukan hanya dilakukan melalui lembaga hukum, tetapi juga melalui pendidikan formal dan non formal. Melakukan pemberantasan korupsi tidak cukup hanya dengan wacana dan menambah lembaga pemberatasan korupsi, tetapi yang penting adalah sikap konsisten dalam memerangi korupsi. Selain itu, makin hari jelas bahwa korupsi yang dilakukan  kaum terdidik itu dahsyat. Kaum terdidik tidak hanya melakukan korupsi karena kebutuhan, tapi justru sering karena keserakahan. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus mengawasi keseharian pejabat public yang bisa jadi salah satu instrument penting melawan korupsi.

Sumber : TEMPO 8 JANUARI 2012